Senin, 09 Juli 2012

Konservasi Stasiun Tawang Semarang


Konservasi Stasiun Tawang Semarang




 




Stasiun Semarang Tawang merupakan salah satu stasiun kereta api besar tertua di Indonesia yang melayani pengangkutan penumpang untuk jalur Semarang Tawang menuju Tanggung (Grobogan). Stasiun ini diresmikan pada tanggal 1 Juni 1914, dan pada 29 April 1911 merupakan peletakan batu pertama oleh perusahaan yang mengelolanya yaitu Netherland Indische Spoorweg maatschappij (NIS) dengan rancangan bangunan dari arsitek Sloth - Blauwboer. Sebagai stasiun yang dipersiapkan untuk menjadi pintu kedatangan tamu, Stasiun Tawang dirancang sebagai bangunan yang anggun dengan karakter bangunan berlanggam Romanticism yang populer di Eropa pada masa itu yang dipersiapkan untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol (Tentoonstelling).
Pada awal beroperasinya, tidak ada jalur kereta api yang menghubungkan antara stasiun Semarang Tawang dan Semarang Poncol, dua-duanya merupakan stasiun ujung atau kopstation. Stasiun Semarang Poncol melayani kereta api dari/ke menuju barat (Cirebon) dan stasiun Semarang Tawang melayani kereta api dari/ke timur (Solo dan Yogyakarta). Ini dikarenakan bahwa kedua stasiun tersebut milik dua perusahaan kereta api yang berbeda yaitu NIS dan SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij). Akibat jaringan kereta api yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah pula. Keadaan ini cukup merepotkan, tidak hanya bagi penumpang tapi (terutama) untuk angkutan barang. Baru ketika awal pemerintah Jepang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1942/1943, kedua stasiun itu dapat dihubungkan dengan jalur kereta api karena kedua perusahaan kereta api itu digabungkan oleh pemerintahan Jepang di Indonesia.

Bangunan membentuk siluet simetris dengan bangunan utama di tengah yang beratap kubah tinggi sebagai vocal point serta sayap-sayap bangunan di kanan kirinya yang didominasi oleh atap pelana dari genteng merah dengan bukaan-bukaan atap sebagai variasi. Bentuk bangunan yang simetris itu merupakan salah satu ciri arsitektur kolonial yang merupakan perpaduan antara langgam desain yang populer di Eropa dengan penyesuaian terhadap iklim lokal tropis melalui penggunaan atap pelana serta banyak bukaan untuk penghawaan.




 Tidak banyak ornamen yang dijumpai, karena gaya arsitektur Romaticism yang populer di Eropa pada awal abad ke 20 lebih menekankan pada komposisi dan proporsi elemen-elemen garis dan bidang-bidang bukaan sebagai ornamen bangunan. Komposisi bidang-bidang bukaan pada tembok yang kokoh serta atap kubah membentuk kemegahan bangunan ini.

Ruang-ruang pada bangunan Stasiun Tawang disusun secara linier dengan pintu masuk utama yang berada di tengah sebagai orientasi. Ruang di bawah kubah merupakan vestibule atau hall dengan langit-langit yang tinggi. Atap kubah membentuk langit-langit persegi memberikan pencahayaan atas yang memperkuat kesan megah ruangan ini. Empat kolom utama yang menyangga atap kubah sepintas mirip dengan bagian tengah sebuah pendapa joglo. Bagian ini diperindah dengan empat lampu hias serta jendela kaca memanjang di sekeliling bangunan bagian atas.

Ornamen paling menonjol pada bangunan Stasiun Tawang adalah pintu-pintu utama serta jendela ventilasi atas yang berbentuk lengkung yang dipertegas dengan bingkai konstruksi Arch pasangan batu bata di tepi atasnya. Pada ujung lengkungan bata tersebut diakhiri dengan moulding dari semen dan keramik warna dan material yang berbeda dari elemen - elemen bukaan (pintu, jendela, dan ventilasi) tersebut menjadi ornamen yang mempercantik arsitektur Stasiun Tawang. Cornice berupa ballustrade/pagar pembatas atap datar di atas pintu-pintu tersebut memperkuat akhiran atas dari komposisi itu.

Sayap bagian kanan merupakan ruang tunggu kelas satu, ruang kepala stasiun, ruang sinyal serta ruang-ruang operasional. Sayap kiri merupakan ruang tunggu kelas dua dan kelas tiga yang pada masa kolonial diperuntukkan bagi pribumi. Ruang-ruang tersebut berderet di sepanjang concourse (peron) membentuk model stasiun satu sisi dengan peron dan sepur yang terletak sejajar dengan bangunan stasiun. Peron dan sepur dinaungi atap pelana yang memanjang sejajar dengan struktur rangka baja dan penutup seng gelombang.

Dalam finishing ruang, dominasi warna putih menutup hampir semua tembok bagian dalam serta cokelat tembaga sebagai penghiasnya. Dari penelitian para arsitek pencinta bangunan bersejarah, material dasar bangunan stasiun ini pada waktu didirikan berasal dari batu yang dilapisi semen tumbukan bata merah dan kapur. Cat yang dipergunakan juga masih sederhana, hanya kapur.

Namun sungguh sayang akibat perkembangan kota Semarang yang semakin pesat serta sistem tata kota yang belum pas dengan kondisi kota pinggir pantai maka stasiun Semarang Tawang sering digenangi banjir akibat hujan atau rob (rembesan air laut jika permukaan laut pasang). Penyebab banjir, selain curah hujan yang tinggi tiga hari berturut-turut dan air pasang laut Jawa, juga hilangnya area resapan di sebelah utara stasiun. Rawa yang dahulu melingkupi bagian utara stasiun sejak 1985 berubah menjadi pemukiman. Banjir merupakan hantu yang harus dihadapi bangunan Stasiun Tawang. Namun, gunungan sampah di tambak sebelah timur stasiun juga musuh utama yang harus dihadapi. Dampaknya, perjalanan kereta api melalui jalur utara di Jawa menjadi terganggu. Untuk mengatasi masalah itu telah tiga kali dilakukan pengurukan lantai bangunan. Ketinggian bangunan telah berkurang 1.5 meter akibat peninggian itu. Tak hanya bangunan yang ditinggikan, jalan rel pun ikut ditinggikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar