Konservasi
Stasiun Tawang Semarang
Stasiun Semarang Tawang merupakan salah satu
stasiun kereta api besar tertua di Indonesia yang melayani pengangkutan
penumpang untuk jalur Semarang Tawang menuju Tanggung (Grobogan). Stasiun ini diresmikan
pada tanggal 1 Juni 1914, dan pada 29 April 1911 merupakan peletakan batu
pertama oleh perusahaan yang mengelolanya yaitu Netherland Indische Spoorweg
maatschappij (NIS) dengan rancangan bangunan dari arsitek Sloth - Blauwboer.
Sebagai stasiun yang dipersiapkan untuk menjadi pintu kedatangan tamu, Stasiun
Tawang dirancang sebagai bangunan yang anggun dengan karakter bangunan
berlanggam Romanticism yang populer di Eropa pada masa itu yang dipersiapkan
untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol (Tentoonstelling).
Pada awal beroperasinya, tidak ada jalur kereta
api yang menghubungkan antara stasiun Semarang Tawang dan Semarang Poncol,
dua-duanya merupakan stasiun ujung atau kopstation. Stasiun Semarang Poncol
melayani kereta api dari/ke menuju barat (Cirebon) dan stasiun Semarang Tawang
melayani kereta api dari/ke timur (Solo dan Yogyakarta). Ini dikarenakan bahwa
kedua stasiun tersebut milik dua perusahaan kereta api yang berbeda yaitu NIS
dan SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij). Akibat jaringan kereta api
yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah
pula. Keadaan ini cukup merepotkan, tidak hanya bagi penumpang tapi (terutama)
untuk angkutan barang. Baru ketika awal pemerintah Jepang masuk ke Indonesia
sekitar tahun 1942/1943, kedua stasiun itu dapat dihubungkan dengan jalur
kereta api karena kedua perusahaan kereta api itu digabungkan oleh pemerintahan
Jepang di Indonesia.
Bangunan membentuk siluet simetris dengan
bangunan utama di tengah yang beratap kubah tinggi sebagai vocal point serta
sayap-sayap bangunan di kanan kirinya yang didominasi oleh atap pelana dari
genteng merah dengan bukaan-bukaan atap sebagai variasi. Bentuk bangunan yang
simetris itu merupakan salah satu ciri arsitektur kolonial yang merupakan
perpaduan antara langgam desain yang populer di Eropa dengan penyesuaian
terhadap iklim lokal tropis melalui penggunaan atap pelana serta banyak bukaan
untuk penghawaan.
Tidak banyak ornamen yang dijumpai, karena gaya arsitektur
Romaticism yang populer di Eropa pada awal abad ke 20 lebih menekankan pada
komposisi dan proporsi elemen-elemen garis dan bidang-bidang bukaan sebagai
ornamen bangunan. Komposisi bidang-bidang bukaan pada tembok yang kokoh serta
atap kubah membentuk kemegahan bangunan ini.
Ruang-ruang pada bangunan Stasiun Tawang disusun
secara linier dengan pintu masuk utama yang berada di tengah sebagai orientasi.
Ruang di bawah kubah merupakan vestibule atau hall dengan langit-langit yang
tinggi. Atap kubah membentuk langit-langit persegi memberikan pencahayaan atas
yang memperkuat kesan megah ruangan ini. Empat kolom utama yang menyangga atap
kubah sepintas mirip dengan bagian tengah sebuah pendapa joglo. Bagian ini
diperindah dengan empat lampu hias serta jendela kaca memanjang di sekeliling
bangunan bagian atas.
Ornamen paling menonjol pada bangunan Stasiun
Tawang adalah pintu-pintu utama serta jendela ventilasi atas yang berbentuk
lengkung yang dipertegas dengan bingkai konstruksi Arch pasangan batu bata di
tepi atasnya. Pada ujung lengkungan bata tersebut diakhiri dengan moulding dari
semen dan keramik warna dan material yang berbeda dari elemen - elemen bukaan
(pintu, jendela, dan ventilasi) tersebut menjadi ornamen yang mempercantik
arsitektur Stasiun Tawang. Cornice berupa ballustrade/pagar pembatas atap datar
di atas pintu-pintu tersebut memperkuat akhiran atas dari komposisi itu.
Sayap bagian kanan merupakan ruang tunggu kelas
satu, ruang kepala stasiun, ruang sinyal serta ruang-ruang operasional. Sayap
kiri merupakan ruang tunggu kelas dua dan kelas tiga yang pada masa kolonial
diperuntukkan bagi pribumi. Ruang-ruang tersebut berderet di sepanjang
concourse (peron) membentuk model stasiun satu sisi dengan peron dan sepur yang
terletak sejajar dengan bangunan stasiun. Peron dan sepur dinaungi atap pelana
yang memanjang sejajar dengan struktur rangka baja dan penutup seng gelombang.
Dalam finishing ruang, dominasi warna putih
menutup hampir semua tembok bagian dalam serta cokelat tembaga sebagai
penghiasnya. Dari penelitian para arsitek pencinta bangunan bersejarah,
material dasar bangunan stasiun ini pada waktu didirikan berasal dari batu yang
dilapisi semen tumbukan bata merah dan kapur. Cat yang dipergunakan juga masih
sederhana, hanya kapur.
Namun sungguh sayang akibat perkembangan kota
Semarang yang semakin pesat serta sistem tata kota yang belum pas dengan
kondisi kota pinggir pantai maka stasiun Semarang Tawang sering digenangi
banjir akibat hujan atau rob (rembesan air laut jika permukaan laut pasang).
Penyebab banjir, selain curah hujan yang tinggi tiga hari berturut-turut dan
air pasang laut Jawa, juga hilangnya area resapan di sebelah utara stasiun.
Rawa yang dahulu melingkupi bagian utara stasiun sejak 1985 berubah menjadi
pemukiman. Banjir merupakan hantu yang harus dihadapi bangunan Stasiun Tawang.
Namun, gunungan sampah di tambak sebelah timur stasiun juga musuh utama yang
harus dihadapi. Dampaknya, perjalanan kereta api melalui jalur utara di Jawa
menjadi terganggu. Untuk mengatasi masalah itu telah tiga kali dilakukan
pengurukan lantai bangunan. Ketinggian bangunan telah berkurang 1.5 meter
akibat peninggian itu. Tak hanya bangunan yang ditinggikan, jalan rel pun ikut
ditinggikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar